Sejumlah kota-kota besar dengan dimotori oleh anak-anak muda, akhir-akhir ini menyambut datangnya wacana ekonomi kreatif, ekonomi yang lebih mengedepankan kreativitas, dan inovasi sebagai motor penggerak ekonomi.
Di Bandung misalnya, beberapa tahun ini sejumlah seminar tentang industri kreatif diselenggarakan, sejumlah lembaga seperti Center For Inovation Enterpreneurship & Leadership (CIEL) yang merupakan bagian dari Sekolah Bisnis Manajemen ITB bekerjasama dengan Departemen Industri dan Perdagangan melakukan kerjasama, untuk merancang strategi pengembangan industri kreatif di Jawa Barat.
Sejumlah komunitas pun didekasikan untuk pengembangan industri kreatif seperti Common Room, sejumlah pihak sudah sibuk melakukan pemetaan.
Sejumlah pihak sampai presiden menyatakan ekonomi kreatif adalah ekonomi gelombang keempat, yang berorientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan lingkungan.
Pembagian gelombang itu sebenarnya kelanjutan dari teori Alvin Toffler yang membagi peradaban kedalam tiga gelombang, yaitu gelombang pertama adalah abad pertanian, gelombang kedua abad industri dan gelombang ketiga abad informasi, dan kelanjutan dari gelombang ketiga adalah gelombang keempat yang dinamakan dengan ekonomi kreatif.
Ekonomi kreatif sendiri, banyak diartikan sebagai kegiatan yang lebih mengedepankan kreativitas, untuk menghasilkan sesuatu hal yang baru. UNESCO tahun 2003, mengeluarkan rilis resmi mengenai definisi industri kreatif ini sebagai suatu kegiatan yang menciptakan pengetahuan, produk dan jasa yang orisinal, berupa hasil karya sendiri. Nilai ekonomis dari hasil penciptaan ini menjadi berlipat ganda ketika diadopsi dan dikomersialisasikan oleh industri jasa dan pabrik
Salah satu Negara yang sangat giat mensosialisasikan ekonomi kreatif adalah Inggris, di Indonesia berbagai seminar dan kegiatan yang didukung oleh British Council diselenggarakan. Pemerintah Inggris menyediakan dana bantuan sebesar 6 juta poundsterling (sekitar Rp 108 miliar), untuk mendukung pengembangan industri kreatif di berbagai Negara berkembang.
Pemerintah Inggris menetapkan 13 sektor usaha yang tergolong sebagai industri kreatif, yakni periklanan, kesenian dan barang antik, kerajinan tangan, desain, tata busana, film dan video, perangkat lunak hiburan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan, jasa komputer, televisi, dan radio. Industri kreatif dikembangkan, ketika Negara-negara seperti Inggris, mencari-cari sumber perekonomian baru untuk menggantikan sektor manufaktur.
Salah satu hak cipta itu adalah Walt Disney di Amerika Serikat, mereka hanya menjual lisensi, brand, dan ide kreatifnya. Pabriknya tidak perlu di AS, tetapi bisa di Cina. Secangkir kopi starbuck pun bisa dibandrol Rp 50.000, tapi tetap saja orang berduyun-duyun menikmatinya, padahal di warung-warung kopi, harga segelasnya rata-rata hanya Rp 1.500.
Terkait dengan ekonomi kreatif, tetangga Indonesia Singapura, telah menugaskan Kementerian Informasi, Komunikasi, dan Seni untuk mengembangkan ekonomi kreatif dalam rangka membangun daya saing Singapura melalui pemanduan seni, bisnis, dan teknologi.
Tiga cetak biru strategi pengembangan industri kreatif dalam mewujudkan visi ini adalah Kota Renaisans (kota global multitelenta dan inovatif dalam bidang seni dan budaya), Singapura Desain (pusat Asia dalam keunggulan desain sebagai pemicu utama peningkatan daya saing dan kreativitas nasional), dan Media 21 (ekosistem media yang berakar di Singapura dengan jangkauan global). Pemerintah singapura juga meluncurkan inisiatif komunitas kreatif Singapura dan Ekspo Kegiatan Kreatif.
Sumbangan industri kreatif di Indonesia tidak bisa dikatakan kecil.industri kreatif Indonesia menyumbangkan sekitar 4,71% dari PDB Indonesia pada tahun 2006, sudah berada di atas sektor listrik, gas, dan air bersih. laju pertumbuhan industri kreatif Indonesia tahun 2006 sebesar 7,28% per tahun (angka ini lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,14%).penyerapan tenaga kerja tahun 2006 sebesar 4,48 juta orang dengan persentase terhadap total tenaga kerja adalah 4,71%. produktivitas tenaga kerja tahun 2006 Rp 19,38 juta per orang. empat sektor industri kreatif teratas adalah, periklanan, desain fashion, kerajinan, dan arsitektur.
Salah satu kota yang masuk dalam pemetaan kota kreatif adalah Bandung, kota itu dijadikan contoh sebagai kota tumbuhnya industri kreatif dibidang fashion, seni, arsitektur, pertunjukan, dan lain-lain.
Director British Council di Indonesia, Mike Hardy, mengatakan, saat ini Bandung sudah memiliki 400 outlet industri kreatif, dikelola oleh anak-anak muda yang berusia 15-25 tahun.
Tidak heran, bila Ibu Kota Jawa Barat itu dipilih oleh British Council untuk menyelenggarakan simposium regional (29-31/10), dimana sebanyak 40 pengambil kebijakan dan praktisi senior pendidikan untuk membahas strategi dan kerjasama pengembangan industri kreatif.
Pertemuan itu untuk mendorong peran pendidikan untuk memperkuat tumbuhnya industri kreatif yang berkontribusi untuk pertumbuhan ekonomi. Harus diakui memang Bandung, sebagai gudang kreatifitas, dalam bidang fashion berkembang distro yang menawarkan produk lokal seperti kaos, jaket, sweater, salah satu perusahaan yang diyakini pelopor produk lokal itu adalah C-59, pelopor C-15 Marius Widyarto Wiwied, dianugrahi penghargaan kepeloporan Industri kreatif.
Bukan hanya fashion, dari Bandung banyak arsitektur yang menangani proyek di sejumlah Negara seperti Dubai, China, selain Kota-Kota besar di Indonesia. Salah satunya Urbane Indonesia. Dibandung juga berkembang, musik indie, media indie, animasi, film indie, fotografi, grafik desain, dan sejumlah perusahaan web desainer yang dikelola oleh anak-anak muda pun bermunculan, pertunjukan-pertunjukan kesenian sampai musik yang berskala internasional pun digelar, butik-butik pun berkembang, kenyataan itu didukung oleh menjamurnya Perguruan Tinggi (PT).
Sementara itu di Banten (minus Tangerang), belakangan ini, mulai berkembang sejumlah distro yang dimiliki oleh anak-anak muda, yang kebanyakan baru lulus kuliah, dibanding toko-toko konvensional, memang lebih kreatif untuk tata letak dan desain toko, namun belum ada kreativitas lain, seperti menciptakan produk-produk lokal sendiri, kebanyakan masih mengambil dari Bandung, singkatnya hanya menjembatani orang Banten yang tidak bisa membeli pakaian ke Bandung.
Kabar gembira memang ada sejumlah kerajinan sudah bisa menembus ekspor, seperti batu fosil yang dikembangkan oleh Ahmad Rifai-Cikande, namun sejumlah pusat kerajinan juga terkesan dibiarkan mati, contoh yang mengerikan adalah pusat gerabah-Ciruas, bukan berlomba-lomba memikirkan bagaimana mendesain sebuah produk agar meningkatkan daya jual, malah bahan baku utamanya tanah dikirim ke Bali. Emping Banten begitu-begitu saja, termasuk Sate Bandeng, lebih-lebih bila berbicara masalah desain arsitektur, pengembangan komputer dan sebagainya, provinsi ini sungguh sangat ketertinggalan, setidaknya dibanding Bandung.
Banten sebenarnya mempunyai kekayaan alam yang sangat indah, bahan baku yang melimpah, tapi kondisi ini tidak didukung oleh budaya kreativitas untuk mengolah kekayaan tersebut. Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor, perkembangan Perguruan Tinggi yang diyakini sebagai persemaian intelektualitas memang baru berkembang beberapa tahun saja. PT masih cukup berbangga dengan kuantitas lulusannya.
Sampai saat ini, sepertinya pemerintah belum melakukan terobosan dan pemetaan dengan sungguh-sungguh terhadap potensi ekonomi kreatif sebagai bagian dari pengembangan ekonomi masyarakat. Sementara Banten Development Global (BDG) lembaga bentukan pemerintah yang diharapkan bisa mendorong investasi, perekonomian dan pemasukan ke Banten, terkesan masih berkonsentrasi untuk melakukan pengembangan industri manufaktur.
Penguasaan teknologi informasi terkesan sangat lambat, kondisi ini diperparah dengan tidak adanya kebijakan pemerintah yang kuat terhadap penguasaan teknologi untuk masyarakatnya, plus infrastuktur pendukung yang masih sangat minim, tak heran perkembangan internet baru ada di pusat-pusat kota, istilahnya satu kilometer melangkah jangankan internet, media pun, seperti buku, Koran, Majalah tidak beredar.
Minimnya kreativitas, bisa jadi disebabkan oleh budaya perlawanan yang sangat rendah.Pasrah. Tak heran bila berkembang pemikiran lebih baik menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dibanding menjalani kehidupan yang berliku, dan sayangnya setelah menjadi PNS, merasa puas dan kreativitas pun mati. Jadi tidak ada budaya cultural semangat kemandirian, singkatnya tidak ada budaya penghormatan terhadap wirausaha.
Sementara itu, lahan-lahan yang menyerap tenaga kerja seperti pertanian semakin berkurang, dan pabrik-pabrik belum bisa menampung pengangguran yang semakin berkembang, ironisnya banyak diantara pabrik yang hengkang meninggalkan Banten, atau Indonesia.
Ekonomi kreatif adalah peluang untuk mengembangkan dan menemukan potensi ekonomi, yang tidak terbatas oleh ruang dan tempat, ke depan ekonomi kreatif ini akan menjadi lokomotif perekonomian.
Walau agak terlambat dengan kondisi yang ada Pemerintah Banten dan PT harus segera melakukan pemetaan dan pengembangan industri kreatif, kalau tidak bukan hanya persoalan-persoalan krusial seperti peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pengangguran, mustahil terselesaikan.
Dan, tidak ada cara lain, bagi generasi muda Banten, selain mengobarkan semangat perlawanan dan kemandirian terhadap kondisi yang ada, semakin kreatif maka semakin hidup. Lawan juga perilaku korup dan birokrasi perizinan yang berbelat-belit, inilah pentingnya pemerintah yang sadar akan pengembangan ekonomi masyarakatnya.
Selasa, 30 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar